Latest Article Get our latest posts by subscribing this site

Proporsi Keuangan Mikro Syariah Global Masih Minim


REPUBLIKA.CO.ID, LAHORE -- Proporsi keuangan mikro syariah global kurang dari satu persen dari total aset keuangan syariah sebesar 1,3 triliun dolar AS. Dari hal itu dapat ditangkap bahwa perbankan dan keuangan syariah masih terbatas pada kelas menengah ke atas dan kurang melayani masyarakat ke bawah.

Chief Executive Officer (CEO) Pusat Perbankan dan Ekonomi Syariah Al Huda, Zubair Mughal mengatakan komersialisme masih terjadi di lembaga keuangan syariah sehingga  melenceng dari tujuan utamanya yakni menyejahterakan masyarakat. "Fakta ini menimbulkan berbagai pertanyaan seperti apakah keuangan syariah hanya memiliki sumber daya keuangan untuk orang kaya atau apakah keuangan syariah satu-satunya pilihan untuk segmen masyarakat tertentu," kata Mughal seperti dikutip The Nation, Kamis (12/9).

Data dari Kelompok Konsultatif untuk Membantu Masyarakat Miskin menunjukkan bahwa volume  keuangan mikro syariah global mencapai 800 juta dolar AS dengan melayani sekitar 1,3 juta penerima manfaat. Namun penelitian terbaru dari Pusat Keunggulan Keuangan Mikro Syariah Al Huda menyebutkan volume keuangan mikro syariah global telah mencapai 1 miliar dolar AS.

Saat ini total jumlah lembaga keuangan mikro syariah lebih dari 300 yang beroperasi di seluruh dunia. Kecilnya pangsa pasar keuangan mikro syariah merupakan tanda tanya besar bagi Industri keuangan syariah.

Mughal mengatakan sesuai ajaran Islam, harusnya keuangan syariah bertujuan mencapai keadilan, kerjasama, dan kesejahteraan ummat. "Namun jika melihat studi banding berbagai agama mengenai sudut pandang kemiskinan, maka pengentasan kemiskinan bukan hanya menjadi tanggung jawab sosial Islam tapi juga kewajiban semua agama," kata dia.

Mughal berujar industri keuangan syariah telah melupakan tanggung jawab sosial atau agama. Hal ini dapat dilihat dari fakta mengejutkan bahwa 46 persen kemiskinan di dunia berada di negara Muslim. Kemiskinan di dunia Muslim meningkat dari hari ke hari yang disebabkan terbatasnya fasilitas keuangan mikro syariah.

Sumber : http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/syariah-ekonomi/13/09/12/mt09pk-proporsi-keuangan-mikro-syariah-global-masih-minim

SOSIALISASI INDUSTRI KEUANGAN NON BANK (IKNB) SYARIAH










Sosialisasi Industri Keuangan Non Bank (IKNB) Syariah
Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Walisongo
Bersama Otoritas Jasa Keuangan

Hari/ Tanggal  : Senin, 9 September 2013
Waktu            : 08.30 WIB s/d Selesai         
Tempat           : Aula 1 lt 2 Kampus I IAIN Walisongo
                        Jl. Walisongo 3-5 Semarang, Jawa Tengah
Tema              : “Membumikan IKNB Syariah; Menggerakkan Ekonomi Mikro)

Pembicara      : (1) Asep Hikayat (OJK)
                        (2) M. Nashir (Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Syariah)
                        (3) Prof. Dr. Ahmad Rofiq (Guru Besar FSEI IAIN Walisongo)
                        (4) Fahmi Basyah (Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia)
                        (5) Komisi XI DPR RI

FORUM RISET EKONOMI DAN KEUANGAN SYARIAH II 2013


FORUM RISET EKONOMI DAN KEUANGAN SYARIAH II 2013
DI UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Kerjasama Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia & IAEI Pusat
 
“Revitalisasi Maqashid Syariah Dalam Sistem Ekonomi dan Keuangan Syariah Yang Mampu Berdaya Saing Tinggi Di Pentas Nasional, Regional dan Global”
 
Sub Tema:
A.      Ekonomi Islam 
  1.  Kerangka Epistemologi Ilmu Ekonomi Islam dan Pengembangannya di dalam Dunia Akademik
  2. Reaktualisasi Pemikiran Ekonomi Islam Klasik dalam Pengembangan Ilmu dan Sistem Ekonomi Islam Kontemporer
  3. Revitalisasi Maqashid Syariah di dalam Kerangka Pembangunan Ekonomi Berdaya Saing Global
  4. Kerangka Kebijakan Otoritas Moneter, Fiskal dan Keuangan dalam Perspektif Maqashid Syariah
  5. Peran dan Kebijakan Pemerintah bagi Pengembangan Pendidikan Ekonomi Islam
  6. Konsep Kepemilikan dan Distribusi dalam Ekonomi Islam untuk Mewujudkan Keadilan dan Kesejahteraan Ekonomi Masyarakat.
 
B.      Perbankan dan Pasar Keuangan Syariah
  1. Rekonstruksi Model Pengembangan Keuangan Islam Terintegrasi yang Berdaya Saing di Tingkat Nasional, Regional dan Global
  2. Perbandingan Pengembangan Produk Bank dan Keuangan Syariah di Berbagai Negara
  3.  Maqashid Syariah dalam Pengembangan Produk Perbankan dan Keuangan Syariah
  4. Strategi Perbankan dan Lembaga Keuangan Syariah dalam Upaya Peningkatan Market Share
  5. Standarisasi dan Indikator Manajemen Risiko di Perbankan Syariah dalam Upaya Menjaga Kepatuhan Syariah dan Imbal Bagi Hasil
  6.  Desain Produk Keuangan Syariah dalam Upaya Peningkatan Sektor Riil
  7. Strategi Pengembangan SDM Integratif dalam Upaya Memenuhi Kebutuhan Industri Perbankan dan Keuangan Syariah Yang Berdaya Saing Tinggi
  8.  Efisiensi dan Peningkatan Kinerja Perbankan dan Keuangan Syariah yang Berdaya Saing Tinggi di Tingkat Nasional, Regional dan Global
  9.  Optimalisasi Sukuk sebagai  Instrumen Investasi Syariah dalam Upaya Penumbuhan Sektor Riil
  10.  Peningkatan Partisipasi Masyarakat dalam Investasi di Pasar Modal Syariah di Indonesia
  11. Peran dan peluang Pasar Modal Syariah sebagai alternative investasi masyarakat dan penumbuhan sektor riil.
  12.  Kebijakan Spin Off Perbankan dan Asuransi Syariah serta Implikasinya dalam Memperkuat Daya Saing di Kancah Nasional, Regional dan Global
  13.  Konsistensi Penerapan akuntansi syariah pada berbagai produk keuangan syariah
C. Microfinance Syariah 
  1. Model Pengembangan Microfinance Berbasis Syariah di Berbagai Negara
  2. Kebijakan dan Regulasi bagi Penguatan Microfinance Syariah di Indonesia dalam Kerangka Pengembangan Keuangan Inklusif
  3. Sinergi Pengelolaan Zakat dan Wakaf Produktif dengan Pengembangan Microfinance Syariah
  4. Pengembangan Gadai  Syariah sebagai Sebuah Model Microfinance Syariah di Indonesia
  5. Pengembangan Sukuk dalam Mendukung Investasi Sektor Riil melalui Microfinance Syariah
  6. Pengembangan Produk Microinsurance dalam Upaya Mitigasi Risiko Investasi pada Microfinance Syariah;
  7. Implementasi Model Microfinance Syariah Yang Unggul dan Profesional dalam Upaya Pengentasan Kemiskinan dan Pengutan Ekonomi Keluarga
  8. Strategi Penerapan Manajemen Risiko pada Microfinance Syariah agar Memiliki Daya Tahan Kuat dan Berkelanjutan
  9. Pengelolaan Dana CSR/Sosial dalam Program Linkage antra Lembaga Keuangan Syariah dan Microfinance
  10. Model pengembangan Bank Wakaf dalam upaya mendukung microfinance syariah
  D.  Hukum Ekonomi Islam 
  1. Reformulasi Hukum Islam di Bidang Ekonomi dan Keuangan Islam dalam Kerangka Legislasi Nasional;
  2. Optimalisasi Peran Peradilan Agama dan Badan Arbitrase Syariah dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis dan Keuangan Syariah
  3. Review Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Sebagai Hukum Materil Untuk Memenuhi Kebutuhan Ekonomi dan Keuangan Syariah di Indonesia
  4. Kontekstualisasi Fiqh Muamalat Kontemporer dan Pengembangan Produk Keuangan Syariah Modern;
  5. Tafsir Kontekstual Ayat-Ayat dan Hadis Ekonomi sebagai Sumber Utama Pengembangan Etika Ekonomi Yang Berkeadilan
  6. Rancang bangun pengembangan ilmu hukum ekonomi syariah di dalam kerangka akademi
  7.    Urgensi Multi Akad (Hybrid Contract) pada Pengembangan Produk Perbankan dan Keuangan Syariah
 
Tanggal-Tanggal Penting :
  • Batas Akhir Pengiriman Softcopy Full Paper : 23 Oktober 2013
  • Pengumuman 24 Finalis                              : 31 Oktober 2013
  • Pelaksanaan Acara                                       :  13-14 November 2013
 
INFORMASI :
Konfirmasi, Akomodasi, dan Informasi lain dapat diperoleh di :
Akademik    : Sdri. Amalia              (0812 9868 6607)
Umum          :   Sdr. Erwin               (0853 1075 1241)
Registrasi     : Sdri. Ricky                 (0812 1205 5188)
 
Email   :  forumriset.iaei@gmail.com
Twitter : @forumriset
 
Note ;
Untuk Syarat dan Ketentuan Penulisan Forum Riset Ekonomi dan Keuangan Syariah II kunjungi http://forumriset.iaei-pusat.org.

AKUNTANSI SYARI’AH ANTARA IDEALISME, PRAGMATISME DAN REALITAS


Kehadiran lembaga keuangan syariah yang kini berkembang pesat membawa pembaharuan yang sangat positif bagi tata sistem keuangan di dunia saat ini.  Sebagai representasi dari hukum dan sistem ekonomi islam (muamalah), lembaga keuangan syariah membawa nilai-nilai positif dalam berekonomi. Nilai tersebut didasarkan kepada al-Qur’an dan al-Hadits, yakni nilai ketuhanan, keadilan dan kemakmuran, khilafah dan tanggungjawab serta bebas dalam bertindak.
Kehadiran lembaga keuangan syariah sendiri merupakan sebuah respon terhadap sistem bunga (fixed interest) yang diterapkan lembaga keuangan konvensional sebagai entitas dari ekonomi konvensional di dunia. Dalam prakteknya lembaga keuangan syariah menggunakan skim bagi hasil yang lebih responsif dan partisipatif dengan nilai-nilai keadilan.
Hadirnya lembaga keuangan syariah merupakan buah hasil dari pemikiran para mujtahid muslim di paruh pertama Abad 20an, di antaranya Anwar Qureshi (1946), Naiem Siddiqi (1946), dan Mahmud Ahmad (1952), Mawdudi pada  (1961), dan tulisan-tulisan Muhammad Hamidullah  pada tahun 1994, 1955, 1957, dan 1962.
Pendirian pertama institusi keuangan dengan prinsip free interest dilakukan pada tahun 1963 di desa Mit-Ghamr, Mesir. Meski akhirnya ditutup karena berbagi alasan setelah sebelumnya tumbuh mengesankan, namun lembaga keuangan ini menandai kebangkitan ekonomi Islam di dunia melalui lembaga keuangan syariah. Di antaranya Nasser Sosial Bank (1972), Dubai Islamic Bank (1975), Faisal Islamic Bank, dan Islamic Development Bank (1975) di tingkat Internasional. Tidak berhenti di sektor perbankan, lembaga keuangan syariah lain mulai lahir dan bergeliat di paruh kedua abad 20 hingga sekarang. Tidak hanya di dunia muslim, di barat pun demikian, kini banyak perbankan konvensional barat yang membuka Islamic Windows, seperti Jardine Fleming, Citi Bank, HSBC, dan ANZ Bank.
Di Indonesia, kehadiran lembaga keuangan syariah ditandai dengan lahirnya PT. Bank Muamalat Indonesia (1991) dan kemudian disusul oleh BMT (1994), asuransi takaful (1994), Reksadana Syariah (1997) dan juga pasar modal syariah (2003). Namun, selama kurun waktu 1992 hingga 2002, kehadiran bank dan lembaga kuangan syariah di Indonesia belum ditunjang dengan sistem pelaporan keuangan (akuntansi) yang sesuai dengan hukum ekonomi Islam.
Adapun akuntansi sebagai instrumen bisnis tidak bisa dikatakan bebas nilai, tetapi sebaliknya, akuntansi adalah instrumen yang sarat nilai. Dalam hal ini, akuntansi konvensional secara implisit menggunakan konsep teori entitas (entity theory) yang bila dikaji secara mendalam sebetulnya banyak didasarkan pada nilai-nilai kapitalisme dan utilitarianisme, di mana konsep tersebut tidak bisa ditawar oleh syariat Islam dan tidak semestinya digunakan oleh lembaga keuangan syariah (Muhammad;2005 dan Triyuwono;2006). Oleh sebab itu pula, kehadiran akuntansi syariah yang bernafas islami adalah konsekuensi logis dari hadirnya lembaga keuangan syariah yang masih didominasi segmentasi lembaga perbankan.
Di Indonesia, pedoman standar akuntansi syariah pertama yang diterbitkan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) ialah pedoman standar akuntansi keuangan No. 50 (PSAK No. 59) tentang akuntansi perbankan syari’ah sebagai perwujudan respon kebutuhan lembaga keuangan syariah.
PSAK No. 59 yang diterbitkan oleh IAI banyak mereferensi pada standar yang dilakukan oleh Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institution (AAOIFI) pada tahun 1998 di bahrain yaitu Accounting and Auditing Standards for Islamic Financial Institution yang terlebih dahulu hadir di level internasional (Akhyar Adnan: 2005). Akan tetapi, baik pedoman standar yang diterbitkan oleh AAO-IFI maupun IAI mendapatkan kritik keras dari beberapa pakar. Apakah konsepsi yang ditawarkan dalam pedoman standar yang diterbitkan kedua lembaga tersebut sudah sesuai dengan idealisme syariah atau belum.
PEMBAHASAN
SEJARAH PERKEMBANGAN AKUNTANSI SYARIAH DI ERA MODERN
Wacana tentang akuntansi syariah merupakan efek logis dari munculnya entitas syariah. Sejak saat itu, banyak tulisan atau publikasi tentang akuntansi syariah oleh para pakar, misalnya Abdel-Magid (1981), Ba-Yunus (1988), Badawi (1988), Hayashi (1989), Adnan (1997), dan Triyuwono (1997).
Pengembangan di antara wacana tersebut telah dibawa ke dalam sebuah kajian akuntansi keuangan bank islam yang dimulai pada tahun 1987. Sedikitnya lima volume telah terkumpul dan tersimpan di perpustakaan Islamic Research and Training Institute, Islamic Development Bank (IDB). Studi itu telah mendorong pembentukan Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAO-IFI/ Organisasi Akuntansi Keuangan untuk Bank dan Lembaga Keuangan Islam) pada tahun 1991 di Bahrain (Muhammad:2005).
Kemudian, dalam proses selanjutnya AAO-IFI mampu menerbitkan copteptual framework yang dituangkan dalam Statements of Financial Accounting No. 1 dan 2, dilengkapi dengan 10 Finacial Accounting standards. Meski belum sepenuhnya mendapat dukungan mutlak dari negara-negara yang menerapkan perbankan syariah, setidaknya conteptual framework tersebut menjadi acuan banyak negara dalam mengatasi kebutuhan akuntansi syariah. Indonesia sendiri sudah memanfaatkannya, baik kerangka konseptual maupun standarnya sebagai acuan utama dalam menyusun standar akuntansi untuk perbankan syariah. Namun, untuk kebutuhan yang lebih luas di industri luar perbankan syariah, perkembangannya belum signifikan, karena masih dalam bentuk konseptual yang belum terwujud adanya pedoman standar baku yang dapat dijadikan acuan dalam pembukuan akuntansi (Akhyar adnan: 2005).
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) sebagai lembaga resmi yang berwenang menerbitkan pedoman standar akuntansi (PSAK) di Indonesia menerbitkan PSAK syariah pada tanggal 1 Mei 2002 yakni Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 50 (PSAK No. 59) tentang akuntansi perbankan syaria’ah. Terbitnya PSAK No 59 ini merupakan langkah maju bagi IAI sendiri dan dunia perbankan syari’ah di Indonesia. PSAK syariah tersebut baru resmi diterapkan di dunia perbankan Indonesia pada 1 Januari 2003. Dengan diterbitkannya PSAK No. 59 memberikan angin segar bagi perbankan syariah yang sebelumnya masih menggunakan akuntansi konvensional untuk tetap berusaha mengimplementasi nilai-nilai syariah secara menyeluruh.
Sebelumnya, Di tahun 2000 Dewan Syariah Nasional (DSN) telah menerbitkan Fatwa No. 14/ DSN-MUI/ IX/ 2000 tentang sistem distribusi hasil usaha dalam lembaga keuangan syariah. Menimbang bahwa (1) accrual basis yakni prinsip akuntansi yang membolehkan pengakuan biaya dan pendapatan didistribusikan pada beberapa periode. (2) cash basis yakni prinsip akuntansi yang mengharuskan pengakuan biaya dan pendapatan saat terjadinya. Pertimbangan tersebut dilengkapi dengan pertimbangan dari Dewan Standar Akuntansi Keuangan IAI yang memutuskan (1) pada prinsipnya, lembaga keuangan syariah boleh menggunakan sistem accrual basis maupun cash basis dalam administrasi keuangan, dan (2) dilihat dari segi kemashlahatan (al-ashlah) dalam pencatatan sebaiknya digunakan sistem accrual basis, tapi dalam distribusi hasil usaha hendaknya ditentukan atas dasar penerimaan yang benar-benar terjadi (cash basis). Semua dengan catatan bahwa penerapan sistem harus disepakati dalam akad (Dwi Suwiknyo: 2010)
Perkembangan selanjutnya, pada tahun 2007 IAI membuat standar baru yang melebur bebarapa standar akuntansi syariah yang telah diterapkan dalam PSAK No. 59 tahun 2002. Selain itu juga dilengkapi dengan Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah (KDPPLKS). PSAK Syariah yang telah disahkan ialah (1) PSAK 101 tentang penyajian laporan keuangan syariah, (2) PSAK 102 tentang akuntansi murabahah, (3) PSAK 103 tentang akuntansi salam, PSAK 104 tentang akuntansi istishna’, PSAK 105  akuntansi mudharabah, dan PSAK 106 tentang Akuntansi Musyarakah yang masih berlaku hingga saat ini (Dwi Suwikno: 2010).
AKUNTANSI SEBAGAI INSTRUMEN SARAT NILAI
Nilai Egoisme Akuntansi Konvensional
Francis (1990) mengatakan bahwa akuntansi sebagai alat bisnis bukanlah sebuah instrumen “mati”, akuntansi adalah praktik moral dan diskursif. Sebagai praktik diskursif, akuntansi dipandang sebagai alat untuk menyampaikan “sesuatu” atau informasi kepada orang lain. Informasi yang disampaikan oleh akuntansi tadi akan berpengaruh pada prilaku penggunanya. Dan sebaliknya pengguna informasi akuntansi (atau masyarakat bisnis) juga mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi akuntansi sebagai instrument bisnis.
Oles sebab itu penggunaan akuntansi oleh seorang akuntan harus hati-hati dalam mengkonstruk, menggunakan dan mengkomunikasikannya, artinya akuntansi secara ideal dibangun dan dipraktikkan berdasarkan nilai-nilai etika, sehingga informasi yang dipancarkan juga bernuansa etika. Dan akhirnya keputusan-keputusan ekonomi yang diambil berdasarkan etika tadi mendorong diciptakannya realitas ekonomi dan bisnis yang beretika (Triyuwono: 2006).
Sebagaimana yang diungkapkan di atas, maka akuntansi sebagai instrumen sarat nilai mempunyai beberapa unsur pembangun yang tidak bisa lepas dari realitas penggunaan akuntansi itu sendiri. Dalam hal ini, akuntansi konvensional yang telah eksis terlebih dahulu sebagai anak budaya dari perilaku pelaku ekonomi konvensioal mempunyai nilai-nilai filosofis seperti apa yang menjadi asumsi dasar ekonomi konvensional. Artinya, akuntansi konvensional juga mewakili corak implementasi ekonomi konvensional yang dianggap tidak beretika dalam syariat islam.
Nilai dalam akuntansi konevensional begitu jelas terlihat dari teori pembangunnya yaitu teori kepemilikan (proprierity theory), teori kekayaan (entity theory) dan teori dana (fund theory). Seperti apa yang diungkapkan oleh Kam Vernon (1990) bahwa teori tersebut sarat dengan egoistik ekonomi kapitalisme, terutama teori entitas yang menekankan pada penentuan income perusahaan. Penekanan pada income mempunyai dua alasan: (1) equity holder terutama mempunyai kepentingan terhadap income, karena jumlah ini menunjukkan hasil investasi mereka dalam periode tersebut; dan (2) perusahaan akan eksis bila menghasilkan laba. Dan menurutkan Kam, peruntukan income adalah semata-mata kepada pemegang saham merupakan bentuk pandangan yang sarat dengan nilai egoisme. Nilai tidak lain adalah nilai yang dimiliki oleh yang. Nilai ini selanjutnya akan berkembang menjadi ekspansif, yang dalam neraca terlihat pada Laba yang ditahan.
Selanjutnya Triyuwono (2006) mengungkapkan bahwa jika dalam penggunaan akuntansi memakai konsep berpasangan (double entry bookkeeping), maka sifat egoistik tidak akan pernah dibiarkan sendirian. Sifat egoistik harus diimbangi oleh sifat alturistik yang feminim. Sifat altruistik ini akan terlihat bila akuntansi menggunakan konsep value-added income. Jelas Triyuwono, konsep tersebut menurut Kam adalah ukuran kinerja, pengukuran nilai atau kekayaan yang diciptakan perusahaan dalam periode tertentu. Ukuran tersebut mengukur kinerja dari partisipan di perusahaan tersebut.
Lanjut Triyuwono, Implikasi lain dari sifat egoitik akuntansi konvensional tercermin dalam konsepnya yang hanya mengakui biaya-biaya pribadi (private cost) yang kerap disebut internalities, sebagai lawan dari eternalities (public cost) yang meliputi biaya-biaya tanah, air, udara dan suara. Sementara akuntansi konvensional belum mampu mengakomodir public cost yang terjadi akibat aktivitas bisnis perusahaan, tetapi sebaliknya yang menanggung adalah masyarakat (dan alam) secara keseluruhan.  
Nilai Dasar Akuntansi Syariah
Dalam beberapa dekade terakhir, terdapat perubahan besar dalam bidang akuntasi. Pendapat sebelumnya yang menyatakan bahwa akuntansi sebagai instrumen bebas nilai mulai digoyang oleh beberapa pakar termasuk Kam, Francis, dan Triyuwono yang menyatakan bahwa akuntansi adalah instrumen bisnis sarat nilai.
Sebelumnya, ketika bank syariah muncul ke permukaan terdapat banyak pertanyaan yang timbul atas proses pelaporan keuangan yang digunakan, karena pada saat itu masih menggunakan sistem akuntansi konvensional. Termasuk juga keberadaan perbankan syariah di Indonesia dalam kurun waktu 10 tahun pertama belum mempunyai pedoman standar akuntansi yang sesuai syariah.
Istilah akuntansi syariah di Indonesia pertama kali muncul atas ekspos harian Republika yang mengupas tentang disertasi PhD Triyuwono yang berjudul Shari’ate Organisation and Accounting: the reflection of self’s faith and konowledge pada tahun 1995 di University of Wollongong, Australia yang diterjemahkan oleh LKiS dengan judul Organisasi dan Akuntansi Syariah (Triyuwono; 2006)
Seperti yang dikutip oleh Muhammad (2005), Triyuwono dan Gaffikin menilai bahwa salah satu upaya untuk mendekontruksi akuntansi modern ke dalam bentuk yang humanis dan syarat nilai. Tujuan diciptakannya akuntansi syariah adalah terciptanya peradaban bisnis yang humanis, emansipatoris, transendental dan teologikal. Konsekuensi ontologis upaya ini adalah bahwa akuntan secara kritis harus mampu membebaskan manusia dari ikatan realitas peradaban, beserta jaringan-jaringan kuasanya, kemudian memberikan atau menciptakan relalitas alternatif dengan seperangkat jaringan-jaringan kuasa Ilahi yang mengikat manusia dalam hidup sehari-sehari (ontologi tauhid). Atau dengan kata lain bahwa secara ontologis, akuntansi syariah pada dasarnya ingin membebaskan manusia dari jaringan kuasa kapitalistik, atau jaring kuasa semua lainnya yang membuat semu orientasi hidup manusia atau berpaling dari kuasa Tuhan.
Untuk mencapai tujuan tersebut, Ahmed Riahi-Bekaoui (1992) mengajukan lima nilai etika yang elemen dasar dalam moralitas akuntansi. Nilai tersebut ialah fairness, ethics, honesty, social reponsibility dan truht. Kelima nilai etika tersebut secara menyeluruh menjadi tiang dasar dari tegaknya akuntansi syariah sebagai instrumen bisnis.
Fairness merupakan perwujudan sifat netral dari seorang akuntan dalam menyiapkan laporan keuangan sebagai sebuah indikasi bahwa prisip, prosedur dan teknik-teknik akuntansi harus fair, tidak bias dan tidak parsial. Nilai etika (ethics) erat kaitannya dengan profesi akuntan yang harus memperhatikan nilai moral dari sebuah lingkungan. Nilai honesty adalah unsur yang dapat menjamin terciptanya atau bertahannya kepercayaan masyarakat umujm terhadap profesi akuntansi. Nilai social responsibility adalah unsur yang keempat yang pada dasarnya erat kaitannya dengan persepsi seseorang tentang perusahaan. Perusahaan tidak lagi dipandang sebagai sebuah entitas yang semata-mata mengejar laba (profit) untuk kepentingan pemilik perusahaan (shareholder), atau untuk kepentingan yang lebih luas, yaitu stakeholder namun juga kepada lingkungan sosial.
Kemudian nilai yang terakhir ialah truth. Truth dalam hal ini dapat diartikan sebagai netralitas dan objektivitas. Truth sebagai netralitas menunjukan bahwa seorang akuntan harus bersikap netral, seperti apa adanya, tidak menyediakan informasi dengan cara tertentu yang cenderung menguntungkan suatu pihak dan merugikan pihak yang lain. Sedangkan truth yang memeiliki nilai objektif harus menunjukkan empat pengertian, yaitu a) ukuran yang digunakan dalam akuntansi harus bersifat impersonal, b) ukuran tersebut berdasarkan bukti-bukti yang diverifikasi, c) ukuran tersebut harus berdasarkan konsensus para ahli yang dipercaya dan d) terdapat kerampingan (narrowness) dispersi statistik dari ukuran-ukuran yang digunakan bila ukuran-ukuran tersebut dibuat oleh orang yang berbeda. Unsur morlitas dalam akuntansi merupakan bagian penting dalam memberikan suatu persepsi bahwa sebenarnya akuntansi tidak terlepas dari nilai-nilai etika.
IDEALISME DAN PRAGMATISME AKUNTANSI SYARIAH
Perkembangan akuntansi syariah yang ditujukan untuk menunjang perkembangan industri lembaga keuangan syariah, hingga kini masih menjadi diskursus serius di kalangan akademisi akuntansi. Diskursus tersebut ditujukan untuk mengetahui hubungan dengan pendekatan dan aplikasi laporan keuangan sebagai bentukan dari konsep dan teori akuntansinya. Perbedaan-perbedan yang terjadi mengarah pada posisi diametral pendekatan teoritis antara aliran akuntansi syariah pragmatis dan idealis.
Aliran pragmastis menilai bahwa basic teori dan konsep akuntansi syariah tidak perlu jauh berbeda dengan akuntansi konvensional selama tidak menanggalkan nilai syariah Islam. Sedangkan aliran Idealis menginginkan adanya perbedaan yang hampir menyeluruh antara akuntansi syariah dan akuntansi konvensional. Lebih jelasnya modifikasi yang dilakukan saat ini oleh aliran pragmatis seperti penggunaan akuntansi dalam perusahaan Islami yang memerlukan legitimasi pelaporan berdasarkan nilai-nilai Islam dan tujuan syariah.
Asimilasi akuntansi konvensional terhadap akuntansi syariah memang terpola dalam kebijakan akuntansi seperti Accounting and Auditing Standards for Islamic Financial Institutions yang dikeluarkan AAO-IFI secara internasional dan begitu juga PSAK No. 59, 101-106 di Indonesia yang merujuk terhadap AAO-IFI.
Di sisi lain, aliran akuntansi syari’ah idealis melihat asimilasi jelas tidak dapat diterima. Secara filosofis, akuntansi konvensional merupakan representasi pandangan dunia Barat yang kapitalistik, sekuler dan liberal serta didominasi kepentingan laba (Triyuwono 2006 dan Mulawarman 2006a). Dan hal tersebut itu jelas berpengaruh terhadap konsep dasar teoritis sampai bentuk teknologi akuntansi syariah. Keberatan aliran idealis terlihat dari pandangannya mengenai Regulasi AAO-IFI maupun PSAK No. 59, dan 101-106 IAI yang dianggap masih menggunakan konsep akuntansi modern yang berbasis entity theory (seperti penyajian laporan laba rugi dan penggunaan going concern dan accrual basis  dalam PSAK No. 59). Hanya saja secara tekstual, terdapat informasi tambahan berkaitan pengambilan keputusan ekonomi dan kepatuhan terhadap prinsip syari’ah.
Dan aliran idealis melihat bahwa regulasi bentuk laporan keuangan yang dikeluarkan AAO-IFI, mengeluarkan bentuk laporan keuangan yang tidak berbeda dengan akuntansi konvensional (neraca, laporan laba rugi dan laporan aliran kas) dan juga menetapkan beberapa laporan lain seperti analisis laporan keuangan mengenai sumber dana untuk zakat dan penggunaannya; analisis laporan keuangan mengenai earnings atau expenditures yang dilarang berdasarkan syari’ah; laporan responsibilitas sosial bank syari’ah; serta laporan pengembangan sumber daya manusia untuk bank syari’ah
KRITIK TERHADAP PSAK SYARIAH DI INDONESIA
Terbitnya PSAK No 59 Pada tanggal 1 Mei 2002 merupakan langkah maju bagi: (1) IAI sendiri sebagai lembaga professional yang memiliki otoritas untuk menerbitkan standar akuntansi keuangan dan (2) dunia perbankan syari’ah di Indonesia yang mulai eksis sejak tahun 1992. PSAK ini banyak mereferensi pada standar yang dilakukan oleh Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institution (AAO-IFI) pada tahun 1998 yaitu Accounting and Auditing Standards for Islamic Financial Institution. Dan Selama sepuluh tahun pertama itu pula, perbankan syariah di Indonesia masih menggunakan pedoman standar yang ada.
Dalam perjalanannya, kedua pedoman standar akuntnasi tersebut masih banyak dipengaruhi oleh akuntasi konvensional. Meski demikian banyak instrumen yang dicantumkan ke dalam PSAK syariah sebagai entitas dari syariat Islam, seperti sumber dan penggunaan dana zakat, infak dan shodakoh serta laporan sumber dan penggunaan dan Qordul hasan.
Sebagaimana yang diungkapkan Baqir al-sadr bahwa “ekonomi Islam bukanlah satu pelajaran tetapi sebuah teori, artinya metode dan alat belajar untuk menafsirkan”. Oleh karena itu, akuntansi syariah sebagai entitas ekonomi Islam adalah teori yang mengalokasikan sumber-sumber yang ada secara adil bukan pelajaran tentang bagaimana akuntansi itu ada. Hal ini dapat diartikan bahwa yang dimaksud akuntansi syariah sebagai entitas ajaran dan pandangan Islam mempunyai arah tujuan kemashlahatan umat Islam dan manusia.
Beranjak dari konsep pemikiran tersebut maka asumsi dasar yang dipakai dalam akuntansi syariah harus kapabel terhadap lingkungan secara umum dan kelangsungan lembaga bisnis yang memakai akuntansi syariah ke depan. Jika akuntansi konvensional menggunakan accrual basis dan going concern sebagai asumsi dasar, maka asumsi dasar yang dipakai dalam standar pedoman akuntansi yang diterbitkan AAO-IFI memiliki empat asumsi dasar yaitu the accounting unit concept, the going concern concept, the periodicity going concept, dan the stability of the purchasing power of the monetary unit.
Di Indonesia, PSAK syariah yang dikeluarkan oleh IAI yang merujuk pada fatwa DSN No: 14/ DSN-MUI/ IX/ 2000 masih menggunakan konsep accrual basis dan going concern. Pemakaian accrual basis sebagai asumsi dasar, disandarkan atas pada faktor dominan bank syariah yang mempunyai produk financing dengan prinsip tijarah (murabahah, salam, dan ishtisna paralel), karena produk tersebut pada intinya menyebabkan bank syariah mempunyai piutang. Merujuk kembali kepada fatwa DSN No: 14/ DSN-MUI/ IX/ 2000 tentang sistem distribusi hasil usaha dalam lembaga keuangan syariah. Menimbang bahwa (1) accrual basis yakni prinsip akuntansi yang membolehkan pengakuan biaya dan pendapatan didistribusikan pada bebrapa periode. (2) cash basis yakni prinsip akuntansi yang mengharuskan pengakuan biaya dan pendapatan saat terjadinya. Pertimbangan tersebut dilengkapi dengan pertimbangan dari Dewan Standar Akuntansi Keuangan IAI yang memutuskan (1) pada prinsipnya, lembaga keuanagn syariah boleh menggunakan sistem accrual basis maupun cash basis dalam administrasi keuangan, dan (2) dilihat dari segi kemashlahatan (al-ashlah) dalam pencatatan sebaiknya digunakan sistem accrual basis, tapi dalam distribusi hasil usaha hendaknya ditentukan atas dasar penerimaan yang benar-benar terjadi (cash basis). Semua dengan catatan bahwa penerapan sistem harus disepakati dalam akad (Dwi Suwiknyo: 2010)
Di samping itu, PSAK No. 59 yang diterbitkan IAI adalah sebuah  hubungan komplementer terhadap Pernyataan Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia (PAPSI) Bank Indonesia. Perkembangan selanjutnya di tahun 2007, Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) IAI kembali mengeluarkan enam PSAK syariah yang tidak hanya ditujukan kepada industri perbankan syariah, akan tetapi keenam PSAK tersebut sifatnya lebih umum agar bisa digunakan oleh semua lembaga keuangan syariah di Indonesia. PSAK syariah tersebut mulai berlaku per 1 Januari 2008 dan disertai dengan Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah  (KDPPLKS). Keenam PSAK syariah yang telah disahkan ialah (1) PSAK 101 tentang penyajian laporan keuangan syariah, (2) PSAK 102 tentang akuntansi murabahah, (3) PSAK 103 tentang akuntansi salam, PSAK 104 tentang akuntansi istishna’, PSAK 105  akuntansi mudharabah, dan PSAK 106 tentang Akuntansi Musyarakah. Dan kemudian di tahun 2009, IAI menerbitkan PSAK No. 107 tentang Akuntansi Ijarah.
 Seperti pernyatan yang telah diungkapkan di atas bahwa konsep akuntansi syariah yang dipakai IAI adalah produk yang mengacu kepada standar AAO-IFI-IFI, banyak pihak (aliran idealis) menilai bahwa PSAK terbitan IAI adalah produk turunan dari akuntansi konvensional yang sangat mengedepankan egoisme lewat pedoman teori entitas (entioty teory) yang diimplementasikan dalam konsep accrual basis dan going concern.
  Dampak dari implementasi konsep accrual basis dan going concern yang diterapkan oleh  IAI ialah konsekuensi teknologis dengan digunakannya bentuk laporan keuangan seperti neraca, laporan laba rugi dan laporan arus kas dengan modifikasi pragmatis. Hasilnya ialah maksimalisasi laba oleh perusahaan dan pengakuan biaya private tanpa memperdulikan biaya-biaya lingkungan. Sedangkan aliran idealis, memilih melakukan perubahan-perubahan konsep dasar teoritis berbasis shari’ate ET terhadap akuntansi syariah. Konsekuensi teknologisnya adalah penolakan terhadap bentuk laporan keuangan yang ada; sehingga diperlukan perumusan laporan keuangan yang sesuai dengan konsep dasar teoritisnya.
Bentuk teknologis yang dimaksud oleh aliran idealis ialah perumusan ulang konsep Value Added (VA) dan Value Added Statement (VAS) sebagai tuunan dari value added itu sendiri. VA diterjemahkan oleh Triyuwono sebagai nilai tambah yang berubah maknanya dari konsep VA yang konvensional. Substansi laba adalah nilai lebih (nilai tambah) yang berangkat dari dua aspek mendasar, yaitu aspek keadilan dan hakikat manusia.
Terjemahan konsep VA agar bersifat teknologis untuk membangun laporan keuangan syari’ah disebut Mulawarman sebagai shari’ate value added (SVA). SVA dijadikan source untuk melakukan rekonstruksi sinergis VAS versi Baydoun dan Willett dan Expanded Value Added Statement (EVAS) versi Mook et al., menjadi Shari’ate Value Added Statement (SVAS). SVA adalah pertambahan nilai spiritual (zakka) yang terjadi secara material (zaka) dan telah disucikan secara spiritual (tazkiyah). SVAS adalah salah satu laporan keuangan sebagai bentuk konkrit SVA yang menjadikan zakat bukan sebagai kewajiban distributif saja (bagian dari distribusi VA) tetapi menjadi poros VAS. Zakat untuk menyucikan bagian atas SVAS (pembentukan sources SVA) dan bagian bawah SVAS (distribusi SVA).
SVAS lanjut Mulawarman terdiri dari dua bentuk laporan, yaitu Laporan Kuantitatif dan Kualitatif yang saling terikat satu sama lain. Laporan Kuantitatif mencatat aktivitas perusahaan yang bersifat finansial, sosial dan lingkungan yang bersifat materi (akun kreativitas) sekaligus non materi (akun ketundukan). Laporan Kualitatif berupa catatan berkaitan dengan tiga hal. Pertama, pencatatan laporan pembentukan (source) VA yang tidak dapat dimasukkan dalam bentuk laporan kuantitatif. Kedua, penentuan Nisab Zakat yang merupakan batas dari VA yang wajib dikenakan zakat dan distribusi zakat pada yang berhak. Ketiga, pencatatan laporan distribusi (distribution) VA yang tidak dapat dimasukkan dalam bentuk laporan kuantitatif.
 Namun setidaknya, seperti apa yang diharpkan pula oleh aliran idealis dalam PSAK yang telah diterbitkan oleh IAI tidak mengakui adanya penentuan predetermined fixed rate (riba) on capital karena dianggap pendapatan pemberi pinjaman tanpa membagi resiko dengan pihak peminjam adalah tidak sesuai dengan syariah Islam. Dan PSAK tersebut juga mampu mengakomodir prinsip profit and loss sharing yang diterapkan oleh lembaga keuangan islam sebagai dasar operasional bisnisnya dan mencantumkan beberapa elemen-elemen entitas syariah dalam bentuk laporan sumber dana untuk zakat dan penggunaannya; analisis laporan keuangan mengenai earnings atau expenditures yang dilarang berdasarkan syari’ah; laporan responsibilitas sosial bank syari’ah; serta laporan pengembangan sumber daya manusia untuk bank syari’ah.

GELIAT PASAR MODAL SYARIAH

Secara sederhana Pasar Modal Syariah dapat diartikan sebagai pasar modal yang menerapkan prinsip-prinsip syariah dalam kegiatan transaksi ekonomi dan terlepas dari hal-hal dilarang, seperti riba, perjudian, spekulasi dan lain-lain.
Pasar Modal Syariah di Indonesia diterbitkan secara resmi pada tanggal 14 Maret 2003 oleh Menteri Keuangan pada saat itu Boediono. Hadir pula pada waktu itu ketua Bapepam, wakil Dewan Syariah Nasional, para direksi SRO,  direksi Perusahaan Efek, dan stakeholder pasar modal. Di hari itu pula dilaksanakan penandatanganan Memorandum of Understanding (MOU) antara Bapepam dan DSN MUI.
Sebelumnya, pada tanggal 3 juli 1997 Reksadana Syariah telah berdiri terlebih dahulu, dan disusul dengan peluncuran Jakarta Islmic Index pada tanggal 3 Juli 2000. Jakarta Islamic Index adalah index yang dikeluarkan oleh BEJ dan merupakan subset dari Indexs Harga Saham Gabungan (IHSG). Tujuan dibentuknya Jakarta Islamic Index sebagai tolok ukur standar bagi saham secara syariah di pasar modal dan sebagai saran untuk meningkatkan investasi di pasar modal secara syariah.
PT. Indosat, Tbk. merupakan emiten pertama yang menerbitkan obligasi dengan akad mudharabah, yaitu obligasi syariah indosat tahun 2002 dengan nilai penerbitan sebesar Rp. 175 Miliar. Kemudian di tahun 2004 PT. Matahari Putra Prima, Tbk. menyusul PT. Indosat dengan menerbitkan Obligasi Syariah. Namun kali ini PT. Matahari Putra Prima, Tbk. menerbitkan Obligasi Syariah yang berbeda dengan PT. Indosat, yakni Obligasi Syariah Ijarah. Obligasi ini menggunakan akad sewa sedemikian rupa, sehingga fee (return) ijarah bersifat tetap. Dan bisa diketahui/ diperhitungkan sejak awal obligasi diterbitkan. Obligasi ini merupakan Obligasi Syariah Ijarah pertama yang ditawarkan ke dalam pasar modal.
Di pasar modal dunia, langkah revolusioner ditempuh oleh Dow Jones yang menerbitkan Dow Jones Islamic Market Indexs (DJIM) pada tanggal 8 Februari 1999 di Manama, Bahrain. Adalah A. Rushdi Siddiqui, perintis dan pencetus ide membentuk indexs saham untuk yang basis usahanya sesuai dengan prinsip syariah. Sebelumya, A. Rushdi Siddiqui berhasil meyakinkan David Moran, presiden Dow Jones untuk menerbitkan DJIM. DJIM kemudian bersanding dengan sembilan indeks global lainnya.
Prestasi fantastis dibukukan oleh DJIM di tahun 2001, ketika pasar kurang bergairah akibat krisis yang ditimbulkan oleh runtuhnya menara kembar World Trade Center di New York, Amerika serikat. DJIM yang mencatat 1.862 saham dari 34 negara dengan kapitalisasi pasar mendekati 11 triliun dolar AS dan lolos dari screening syariah (produk dan jasa yang dihasilkan emiten tidak bertentngan dengan syariah), membukukan perolehan (return) hingga 19,22 persen. Ini sungguh angka yang lumayan yang bisa dicapai DJIM dalam usia belia, bandingkan dengan MSCI (indeks dunia) yang meberikan return 23,60 persen. Per negara, DJIM membukukan prestasi serupa. Simak untuk DJIM-US (Amerika) yang meraih 2.15 persen lebih tinggi dibandingkan indeks S&P 500 dalam tahun itu. Yang mengejutkan, DJIM-CAN (Kanada) memperlihatkan kinerja yang disebut ”impian” dengan membukukan total return 92,21 persen, jauh meninggalkan indeks TSE 300 yang harus puas dengan mencetak 29,73 persen. Ini adalah prestasi yang membanggakan, karena Dow Jones sendiri dan 9 indeks termasuk indek per negara dan regional yang diwakili AS, Kanada, Inggris, Jepang, Asia Pasifik, Jepang, Indeks Bluechip dan indeks tekhnologi Global yang menunjukkan kinerja buruk di tahun ini.

Regulasi Pasar Modal Syariah di Indonesia

Perbedaan prinsip yang diterapkan pasar modal syariah dengan pasar modal konvensional, bukan berarti pasar modal syariah mempunyai lantai bursa dan lembaga struktural sendiri, seperti halnya perbankan syariah dan perbankan konvensional yang berdiri dalam satu naungan otoritas Bank Indonesia. Pasar modal syariah pun berdiri bersama dengan pasar modal konvensional di bawah naungan Bapepam.
Sesuai dengan keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 503/KMK.01/1997, Bapepam adalah pelaksana tugas di bidang pembinaan, pengaturan, dan pengawasan kegiatan pasar modal yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada meneteri keuangan, dan dipimpin oleh seorang ketua. Dan Sesuai pasal 2 keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 503/KMK.01/1997, Bapepam mempunyai tugas membina, mengatur, dan mengawasi segari-sehari kegiatan pasar modal yang wajar, teratur dan efisien serta melindungi kepentingan pemodal dan masyarakat sesuai kebijaksanaan yang ditetapkan Menteri Keuangan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Namun dalam pelaksanaanya Bapepam sendiri tidak akan membuat apa itu syariahnya, Bapepam hanya akan membuat guide line saja, karena sudah ada Dewan Syariah Nasional yang mengurusi hal itu. Bersamaan diterbitkannya pasar modal syariah, Bapepam mengeluarkan 5 regulasi baru yang akan mengatur perjalanan pasar modal syariah dan membedakannya dengan pasar modal konvensional.
Pertama, menyangkut kebijakan umum. Ketentuan ini akan membahas kedudukan DSN dan Bapepam dalam kaitannya dengan pasar modal syariah. Ketentuan kedua mengenai proses emisi saham syariah. Regulasi ini akan menjadi rujukan bagi emiten baru yang berkehendak dicatat dalam daftar saham syariah. Ketentuan ketiga menyangkut indeks syariah yang akan menjadi pedoman penyusunan emiten-emiten yang layak masuk syariah. Ketentuan keempat menyangkut instrumen obligasi syariah. Jika sebelumnya hanya ada obligasi syariah mudharabah, keluarnya ketentuan keempat ini membuka jalan adanya obligasi syariah yang menggunakan skim ijarah. Ketentuan kelima tentang Reksadana syariah. Menyangkut ketentuan reksadana ini, sudah mulai dikembangkan produk reksadana yang bersifat hibrid (campuran), yakni fixed income (obligasi), equity (saham), mutual fund (reksadana), dan asset securitization (sekuritisasi asset).
Hal yang Harus diperhatikan oleh Emiten dan Investor adalah semua Efek yang diperjualbelikan dan Usaha yang dijalankan oleh emiten tidak bertentangan dengan syariah Islam yakni, aktivitas Utama (Care Business) yang halal, tidak bertentangan dengan substansi fatwa DSN No. 20/DSN-MUI/IV/2001. fatwa tersebut menjelaskan bahwa jenis kegiatan usaha yang bertentangan dengan syariah islam; (i) usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang. (ii) usaha lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan asuransi konvensional, (iii) usaha yang memproduksi, mendistribusikan, serta memperdagangkan makanan dan minuman haram, (iv) usaha yang memproduksi, mendistribusi, atau menyediakan barang-barang atau jasa yang merusak moral dan bersifat mudharat.
Selebihnya, regulasi pasar modal syariah tidak banyak berbeda dengan regulasi yang diterapkan oleh Bapepam terhadap pasar modal konvensional.

Efek Pasar Modal Syariah di Indonesia

Di Indonesia, ada 4 efek yang sering diperjualbelikan di pasar modal syariah antara lain, Saham Syariah, Obligasi Syariah Mudharabah, Obligasi Syariah Ijarah, dan Reksadana Syariah.

  1. Saham Syariah
Dalam, saham syariah, penyertaan modal dilakukan pada perusahaan-perusahaan yang tidak melanggar prinsip-prinsip syariah.
Di indonesia, pembentukan saham ini dihimpun dalam Jakarta Islamic Indexs. Jakarta Islamic Indexs sebagai subset dari Indeks Harga Saham Gabungan terdapat 30 saham yang memenuhi keriteria syariah yang ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional, yakni pada fatwa DSN No. 20/DSN-MUI/IV/2001.
Selain hal tersebut JII, akan mempertimbangkan suatu saham dengan aspek likuiditas dan kondisi keuangan emiten, yaitu: 
1)      Memilih jenis kumpulan saham dengan jenis utama yang tidak bertentangan dengan syariah dan sudah tercatat lebih dari 3 bulan (kecuali termasuk dalam 10 kapitalisasi besar) 
2)      Memilih saham berdasarkan laporan keuangan tahunan atau tengah tahun terakhir yang memliki rasio kewajiban terhadap kativa maksimal 90% 
3)      Memilih 60 saham dari susunan saham diatas berdasarkan urutan rata-rata kapitalisasi pasar (Market Capitalization) terbesar selama satu tahun terakhir.
Selebihnya, pengoperasian saham syariah tidak jauh berbeda dengan pengoperasian saham konvensional dengan syarat tidak berseberangan dengan syariat islam. Diantarnya, dalam saham syariah emiten juga mempunyai hak atas menajemen emiten dan mempunyai hak suara sama besar dengan pemilik saham lainnya sesuai proporsinal saham masing-masing dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) perusahaan (emiten). Seperti halnya saham konvensional pembagian keuntungan pada saham syariah oleh emiten kepada investor dengan membagikan deviden jika perusahaan memperoleh keuntungan di akhir periode setelah emiten/ perusahan setelah perusahaan membayar kewajiban terhadap kreditor, dan pemegang obligasi, serta pembayaran deviden kepada pemegang saham preferen pada tiap perioide yang sama. Dalam kondisi perusahaan/ emiten dilikuidasi, investor saham syariah menempati posisi yang sama dengan investor saham konvensional atas hak dan kewajiban terhadap emiten.

  1. Obligasi Syariah Mudharabah
Obligasi Syariah Mudharabah merupakan obligasi syariah yang menggunakan akad bagi hasil sedemikian, sehingga pendapatan yang diperoleh investor atas obligasi tersebut diperoleh setelah mengetahui pendapatan emiten.
Merujuk pada Fatwa DSN No. 32/DSN-MUI/IX/2002, Obligasi Syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/ Margin/ fee, serta membayar kembali dana obligasi pada jatuh tempo.
Obligasi ini pertama kali diterbitkan oleh PT. Indosat, Tbk. pada tahun 2002 dengan nilai penerbitan senilai Rp. 175 Miliar.
Berbeda dengan obligasi konvensional, obligasi syariah bukanlah surat hutang jangka panjang melainkan surta berharga nirriba (non riba), obligasi ini tidak menerapkan prinsip interest (bunga) yang harus dikembalikan pada waktu jatuh tempo dan dipersyaratkan kepada emiten. Karena Riba/ interest/ usury diharamkan dalam syariat hukum islam. Dalam obligasi ini terdapat prinsip penyertaan antara pemilik modal dengan emiten, namun pemilik modal tidak mempunyai hak atas manajemen emiten, berbeda dengan saham syariah di mana investor mempunyai hak atas manajemen emiten.
Obligasi ini diterapkan oleh emiten atas proyek-proyek tertentu yang kemudian ditawarkan kepada investor untuk didanai (obligasi syariah PT. Indosat, Tbk. tahun 2002). Oleh karena itu, pembagian hasil keuntungan dan kerugian didasarkan atas kinerja (pendapatan) yang dihasilkan oleh proyek tersebut, tidak berdasarkan laba yang dihasilkan oleh emiten secara keseluruhan di akhir periode.

  1. Obligasi Syariah Ijarah
Obligasi Syariah Ijarah merupakan obligasi syariah yang menggunakan akad sewa sedemikian, sehingga ia (fee ijarah) bersifat tetap, dan bisa diketahui/ diperhitungkan sejak awal obligasi diterbitkan.
Obligasi syariah ijarah pertama kali diterbitkan oleh PT. Matahari Putra Prima, Tbk. pada tahun 2004.
Perbedaan obligasi ini dengan obligasi syariah mudharabah ialah obligasi ini diterapkan oleh emiten atas suatu proyek yang kemudian ditawarkan kepada para investor untuk didanai dengan akad ijarah (sewa). Kemudian proyek tersebut dijadikan underlying asset untuk pembayaran fee ijrah sesuai kesepakatan yang telah ditentukan sebelumya oleh kedua belah pihak.

  1. Reksa Dana Syariah
Reksa Dana Syariah merupakan reksa dana yang mengalokasikan seluruh dana/ portofolio ke instrumen syariah seperti saham-saham yang tergantung dalam JII, Obligasi Syariah, dan berbagai Instrumen keuangan sayariah lainnya.
Dalam melakukan kegiatan investasi reksa dana syariah dapat melakukan apa saja sepanjang tidak bertentangan dengan syariah. diantara investasi tidak halal yang tidak boleh dilakukan adalah investasi dalam bidang perjudian, pelacuran, pornografi, makanan dan minuman yang diharamkan, lembaga keuangan ribawi dan lain-lain yang ditentukan oleh Dewan Pengawas Syariah.

Dalam kaitannya dengan saham-saham yang diperjual belikan dibursa saham, BEJ sudah mengeluarkan daftar perusahaan yang tercantum dalam bursa yang sesuai dengan syariah Islam atau saham-saham yang tercatat di Jakarta Islamic Index (JII). Di mana saham-saham yang tercantum didalam indeks ini sudah ditentukan oleh Dewan Syariah. 
Dalam melakukan transaksi reksa dana syariah tidak diperbolehkan melakukan tindakan spekulasi, yang didalamnya mengandung gharar seperti penawaran palsu dan tindakan spekulasi lainnya
 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) IAIN Walisongo Semarang - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger